Suntik Mati / Eutanasia dari perspektif Hukum

Pendahuluan


1.     Latar Belakang

Secara Etimologi Eutanasia ( Bahasa Yunani ) “ EU yang artinya “ Baik dan  Thanatos yang berarti kematian adalah praktek pencabutan kehidupan Manusia atau Hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal. Biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Aturan Hukum mengenai masalah ini sangat berbeda – beda di seluruh dunia dan sering kali berubah seiring dengan perubahan  Norma – norma budaya dan tersedianya perawatan dan tindakan medis. Di beberapa Negara, tindakan ini dianggap legal, namun ada beberapa Negara yang menganggap tindakan ini melanggar Hukum. Karena sensitifnya isue yang demikian, maka pembatasan dan prosedur ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya. Sejauh ini di Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai Euthanasia. Namun jika ditinjau secara Hukum yang berlaku di Indonesia Euthanasia atau menghilangkan nyawa atas dasar permintaan sendiri sama dengan tindakan menghilangkan  nyawa orang lain.

Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujuitentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang enthnasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusiaan.dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh bahkan untuk hidup, maka dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak boleh euthanasia beralasan beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya karena masalah hidup dan mati itu adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa di ganggu gugat oleh Manusia.

Di indonesia masalah Euthanasia masih belum mendapat tempat yang diakui secara Yuridis, dan mungkinkah Euthanasia dalam perkembangan Hukum posistif di Indonesia mendapat tempatyang diakui secara Yuridis. Apabila hukum di indonesia kelak mau menjadikan persoalan Euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai – nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

2.     Rumusan Masalah

Menyangkut fenomena yang ada akan menimbulkan beberapa Permasalahan yang                    harus kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini penulis mendapatkan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam Bab – bab berikutnya antara lain ;

1.      Apakah dasar Hukum dilakukanya Euthanasia ?

2.      Bagaimana tinjauan menurut Hukum Pidana mengenai Tindakan Euthanasia ?

3.      Apa sajakah bentuk Euthanasia menurut Konsepsi secara medis


BAB II

Pembahasan

 PENGERTIAN EUTHANASIA

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan  dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.

Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.

Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.

Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:

a.       Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi, euthanasia diartikan:

·         Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.

·         Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien

·         Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.

b.    Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti:

·         Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.

·         Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang.

·         Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut:

a.  Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

b.  Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.

c.  Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.

d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.

e.  Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

Jenis-Jenis Euthanasia

Euthanasia terdiri dari beberapa jenis. Berdasarkan dari cara pelaksanaannya, euthanasia dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1.      Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh dokter atau tenaga kesehatan untuk mencabut atau mengakhiri hidup sang pasien, misalnya dengan memberikan obat-obat yang mematikan melalui suntikan, maupun tablet. Pada euthanasia aktif ini, pasien secara langsung meninggal setelah diberikan suntikan mati. Euthanasia aktif hanya diperbolehkan di Belanda, Belgia, dan Luxemburg.

2.      Euthanasia pasif

Euthanasia pasif dilakukan pada kondisi dimana seorang pasien secara tegas menolak untuk menerima perawatan medis. Pada kondisi ini, sang pasien sudah mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah “codicil”, yaitu pernyataan yang tertulis. Pada dasarnya eutanasia pasif adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan sang pasien itu sendiri. Euthanasia pasif ini dapat dilakukan melalui beberapa cara, misalnya dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam bernapas, menolak untuk melakukan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, dan sebagainya. Tindakan yang dilakukan tidak membuat pasien langsung mati setelah diberhentikan asupan medisnya, tetapi secara perlahan-lahan.

Berdasarkan dari status pemberian izin, euthanasia dibagi menjadi 2, yaitu:

1.      Euthanasia secara tidak sukarela

Pelaksanaan euthanasia secara tidak sukarela ini didasarkan pada keputusan dari seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya wali dari si pasien. Namun di sisi lain, kondisi pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin, misalnya pasien mengalami koma atau tidak sadar. Pada umumnya, pengambilan keputusan untuk melakukan euthanasia didasarkan pada ketidaktegaan seseorang melihat sang pasien kesakitan.

2.      Euthanasia secara sukarela

Euthanasia secara sukarela merupakan euthanasia yang dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri dalam keadaan sadar.

Euthanasia dalam persepektif Medis

          Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.
            Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.
Bardasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter,
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative dan berikut adalah contoh-contoh tersebut;
1. Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut;
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
Kede etik kedokteran Indonesia
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai dengan ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan;
Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),
mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia),
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir,
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang,
3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:
1. Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

          Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing.[1] Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland, euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja. [2]

Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu :

1.     voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan  pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya);

2.     Non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya);

3.     involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya). [3]

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi Pakar hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.

Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitueuthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/korban sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” 

Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan membiarkan dan atas permintaan orang itu sendiri . Sulit rasanya membayangkan  seseorang yang sampai hati “membunuh’ atau dengan perkataan lain “merampas nyawa” orang lain apalagi yang dikenalnya atau yang perlu ditolongkan, atas permintaan yang bersangkutan yang tengah menderita sakit parah yang tak tersembuhkan misalnya. Pasti makin sulit lagi, kalau ini dikaitkan lebih lanjut dengan masalah moral dan kemanusiaan. Namun dalam masa-masa mendatang, karena sesuatu hal tidak mustahil permasalahan merampas nyawa orang lain yang sangat dikasihani atau yang perlu untuk ditolong atau membiarkan nyawanya dirampas maut atas permintaan yang bersangkutan, kiranya sulit untuk dihindari

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 dan 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara hukum. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)

Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan : (Moeljatno, 2005: 114)

“ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan :

“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga dinyatakan :

 “Kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.

Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan : “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.

Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.[4]

Sebelumnya jika kita memperhatikan pasal-pasal yang menyangkut jiwa manusia dalam KUHP tersebut diatas, maka kitapun dapat mengetahui bagaimana sebenarnya pembentuk undang-undang ini, pandangannya terhadap jiwa manusia itu. Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap bahwa Jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan miliknya yang paling berharga dibandingkan dengan milik manusia lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia, hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh Negara, selalu dilindungi Negara. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat dan kepentingan individu yang dituntut.

“Kepentingan masyarakat, bahwa seseorang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat dan kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapatkan hukuman yang terlalu berat, tidak seimbang dengan kesalahannya”. [5](Wirjono Prodjodikoro, R, 1977 : 16).

Pandangan dari pembentuk Undang-Undang Hindia Belanda itu rupanya masih tetap dianut oleh pemerintah sekarang masa orde baru. Ini terbukti bahwa dalam KUHP sendiri, perihal keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih dijamin dengan tanpa perubahan sedikitpun. Memang merupakan kenyataan sampai sekarang, bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideology, tentang keselamatan dan keamanan jiwa manusia Indonesia dijamin oleh Undang-Undang. Hal ini juga merupakan pencerminan daripada prinsipEquality before the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap keamanan dan keselamatan jiwa manusia.

Dalam pasal , kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan 344 KUHP . Agar supaya unsur ini tidak disalahgunakannya, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti yang lainnya, sebagaimana disebutkan dalam pasal 295 HIR sebagai berikut :[6]

Sebagai upaya bukti menurut undang-undang, hanya diakui :

1.    Kesaksian-kesaksian

2.    Surat-surat

3.    Pengakuan

4.    Isyarat-isyarat.

Jadi apabila kita perhatikan pasal 344 KUHP tersebut diatas, agar seseorang dapat dikatakan telah memenuhi pasal itu, maka public prosecutor(penuntut umum/jaksa) harus dapat membuktikan adanya unsur “permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. (Karjadi, 1975 : 84)

Dengan kemajuan teknik yang pesat, khususnya dalam dunia kedokteran, hal “merampas nyawa” atau membiarkan orang yang nyawanya dirampas maut”, baik atas permintaan sendiri karena suatu penyakit yang sangat mustahil dapat disembuhkan, maupun atas dasar perikemanusiaan karena tidak tahan melihat yang bersangkutan menderita, pasti menimbulkan berbagai komplikasi, antara lain yang menyangkut bukan saja masalah etika kedokteran, atau terlebih-lebih menyangkut hukum pidana, yang bertalian dengan masalah Euthanasia atau “Mercy Kelling”.

Tinjauan Kedokteran / KODE ETIK

Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.

Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.

Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.

BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

·         Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan.

·         Euthanasia dapat dikelompkkan menjadi euthanasia aktif, euthanasia pasif, euthanasia volunter, dan uethanasia involunter.

·         Menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi

·         Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

SARAN

Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi layanan kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan euthanasia, karena jika dilihat dari segi hak asasi manusia steiap orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama, yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.

Daftar Pustaka

http://euthanasiatpa.blogspot.com, maret 2012

http://rabdhanpurnama.blogspot.com, juli 2012

[1] (Tongat, 2003 :44).

[2] (Tongat, 2003 : 44)

[3] (Utomo, 2003: 175).

[4] (http://mytaste.wordpress.com/euthanasia)

[5] (Moeljatno, 2005 : 116)

[6] (Muljatno, 1971 :  117)

0 Responses to “Suntik Mati / Eutanasia dari perspektif Hukum”

Post a Comment