PERKAWINAN BEDA AGAMA

Perkawinan Beda Agama Dan Permasalahan Hukumnya

 

 


I . Latar Belakang

Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dan sakral karena merupakan suatu penghubung ikatan yang sangat dalam diantara para pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu suami dan istri dalam membentuk keluarga dan rumah tangganya, oleh karena itu tak heran apabila perkawinan merupakan suatu tradisi yang sangat penting di belahan bumi manapun, bahkan saking pentingnya masalah perkawinanpun banyak di atur dalam berbagai aspek penghidupan, baik dari sisi agama, tradisi kemasyarakatan, dan institusi negara sekalipun.

Pada kenyataannya pengaturan mengenai masalah perkawinan terdapat banyak perbedaan diantara satusama lainnya dan tidak memiliki suatu keseragaman, misalnya pada tradisi masyarakat yang satu dengan yang lain, antar negara yang satu dengan yang lain, antar agama yang satu dengan yang lainnya, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.

Keadaan dan kondisi di suatu daerah misalkan akan turut mempengaruhi pengaturan hukum (perkawinan) di daerah tersebut. Misalnya di negara Indonesia, bangsa yang plural dan heterogen. Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain. Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia (88,2 % dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3 %), Hindu (2,1 %), dan Budha (0,9 %). Keragaman pemeluk Agama di Indonesia ternyata telah ikut membentuk pola hubungan antar Agama di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satu bentuk pola hubungan tersebut tercermin dalam hukum keluarga di Indonesia khususnya dalam bidang perkawinan sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan disahkannya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Demikianlah ternyata keadaan di suatu negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum/aturan di negara tersebut.

Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan Agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan Agama. Namun kalau memang terjadi perkawinan yang berbeda Agama , hukum mana yang akan berlaku, ini juga tidak  jelas dalam Undang – undang Perkawinan. Karena dalam Undang – undang Perkawinan dalam Pasal 2 menyebutkan : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing Agama dan Kepercayaanya.( Hukum orang dan Keluarga, oleh Soedharyo Soimin, S.H.1992, Hal 95 )

Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.

Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya.

Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan Berbeda Agama.

II. Pembatasan  Masalah

Dari uraian pokok permasalahan terntang Perkawinan beda Agama di atas, maka dapat di tarik beberapa Rumusan Masalah yang terdiri sebagai berikut :

1.      Apa dasar Hukum Perkawinan beda Agama di Indonesia ?

2.      Bagaimana pengesahan perkawinan beda Agama di Indonesia ?

3.      Apa saja Faktor – faktor yang penyebab Perkawianan Beda Agama di Indonesia?

1

PEMBAHASAN

1 . Kawin Beda Agama ( Campuran ) Dan Dasar Hukumnya Di Indonesia ?

Yang dimaksud perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan , karena perbeda kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan  Indonesia ( Pasal 57 UUP ). ( P.N.H. Simanjuntak, S.H. 1999, hlm 76 )

            Sama halnya dengan Perkawinan Campuran maka Perkawinan Beda Agama juga masuk dalam kategori yang demikian. Campuran dalam makna yang lebih luas maka merupakan suatu Perkawinan yang bukan hanya memiliki perbedaan kewarnegaraan, tapi juga perbedaan agama dan kepercayaan. Sebagai salah satu contoh, jika ada satu warga Indonesia yang ingin menikah dengan satu warga asing yang kebetulan juga memiliki perbedaan Agama dan Keyakinan Maka kedua warga Negara yang memiliki perbedaan Kewarganegaraan tersebut bisa melakukan Perkawinan sesuai dengan aturan yang berlaku. Untuk selanjutnya Perkawinan Beda Agama bisa dilakukan diluar Negeri jika di Indonesia belum diatur mengenai Perkawinan Beda Agama.

Mengenai Aturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas setengah

2

sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.

Soudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak di dukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan.

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat difahami bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya

3

masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158)  sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.

A . Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari UUD 1945 dan UUP

Pada dasarnya Menikah merupakan Hak preogratif seseorang dan sejalan dengan konsep Hak Azasi manusia. Bahkan secara konstitusional Hak dalam membentuk keluarga

4

 terjamin dalam Undang – undang Dasar 1945. Pada pasal 28B ayat 1 Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Ini merupakan salah sumber hukum, bahwa setiap orang memiliki Hak dan kebebasan dalam membentuk Keluarga. Dan dalam hal ini erat kaitanya dengan HAM.

Untuk mengetahui secara lebih mendetail tentang pengaturan Perkawinan beda Agama di Indonesia, dalam uraian berikut akan dipaparkan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia

Dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, sebenarnya sudah Peraturan yang lebih dulu, salah satunya Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), beberapa ketentuan tentang perkawinan beda agama adalah sebagai berikut:

Pasal 1 :

Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.

Pasal 6 ayat (1) :

Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas

suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan.

Pasal 7 ayat (2) :

Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.

Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya perkawinan.

B. Menurut Undang – undang No 1 Tahun 1974

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi :

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

5

Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

 f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah.

Sama halnya Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum islam menyatakan sebagai berikut:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut:

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab.

Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:

6

(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yangdilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.

(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan.

Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.

Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.

Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No.

7

1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.

            Fenomena Kawin beda Agama sudah bukan menjadi sesuatu yang tabu lagi di Indonesia, meskipun secara Hukum belum secara tegas diatur. Di Indonesia sendiri banyak yang secara Legal masih mendapatkan pengakuan resmi meskipun melasungkan Perkawinan beda Agama. Sebagai contoh tata cara dalam melasungkan Perkawinan Beda Agama maka dalam Tulisan akan dipaparkan  pada bagian BAB selanjutanya.

Dalam khasanah Hukum Indonesia, khususnya Instrument Hukum yang mengatur tentang Perkawinan adapun berbagai Pengertian tentang perkawinan dan syarat – syarat yg termuat di dalamnya. Dibawah ini akan dijelaskan tentang pengertian Perkawinan menurut hukum Positif Indonesia.

2. Pengertian Perkawinan

Perkawinan ialah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita yang nantinya akan membentuk keliarga atau rumah tangga. Dalam hal ikhwal berumah tangga ada beberapa syarat - syarat yang kesemuanya temaktub dalam Peraturan tentang perkawinan yang berlaku atau positif di Indonesia. Menurut Prof. Subekti, : Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.(Subekti, pokok-pokok hukum perdata,1987,hlm 23) Sedangkan menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H, : Perkawinan yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki – laki dan seorang Perempuan, yang memenuhi syarat- syarat yang termasuk dalam peraturan Hukum.(Wirjono Prodjodikoro,hukum perkawinan di indonesia, 1960,hlm 7)

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan hidup bersama yang sebelum dilangsungkanya perkawinan ada beberapa syarat – syarat yang diatur dalam peraturan hukum. Dan dalam peraturan hukum tersebutlah yang menentukan sah tidaknya Perkawinan.

8

A. Perkawinan Menurut UU No 1 Tahun 1974

Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

Berbeda halnya pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.  Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.

B. Menurut Hukum Islam

Menurut Hukum Islam perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2 KHI). ( pokok – pokok Hukum Perdata Indonesia, P.N.H Simanjuntak, S.H, 1999, Hal 90 )

Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang

pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal.

Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.

3.  Dasar – dasar Hukum Perkawinan di Indonesia

Dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-undang Perkawinan Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.

9

Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.

Dengan demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah :

a. Buku I KUH Perdata

b. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan

c. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama

d. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974

e. Instruksi Presiden Np. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia

1. Tata Cara Pengesahan pengerkawinan Beda Agama

Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus pernikahan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Karena perkawinan (pernikahan) sah jika dilakukan sesuai agama & kepercayaannya, ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.

Tapi pada realitanya memang masih dapat terjadi adanya pernikahan beda agama di Indonesia.

Guru Besar Hukum Perdata UI Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan 4 cara populer pasangan beda agama melangsungkan pernikahan

4 cara pasangan beda agama melangsungkan pernikahan:

 1) meminta penetapan pengadilan

 2) pernikahan dilakukan menurut masing-masing agama

 3) penundukkan sementara pada salah satu hak agama

10

 4) menikah di luar negeri

Cara penundukkan diri pada salah satu hukum agama mempelai mungkin lebih sering digunakan dalam pernikahan beda agama.

Dalam penundukan pada agama pasangan, suami atau isteri dapat kembali lagi kepada agamanya semula. Jika perihal suami/isteri “kembali ke agama semula” menyebabkan berbedanya keterangan agama dalam KTP & dalam akta perkawinan, hal tersebut tidak apa-apa.

Dalam UU No. 23/2006 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya, tidak ada larangan keterangan agama dalam KTP beda dengan akta perkawinan.

Contoh lain, pernikahan beda agama dilakukan menurut hak agama masing-masing yaitu pagi menikah sesuai agama pria, siangnya sesuai agama wanita. Dalam melakukan pernikahan menurut hak agama masing-masing, yang jadi masalah adalah pernikahan mana yang sah?

Jika pasangan beda agama menikah di luar negeri, setelah kembali ke Indonesia, paling lambat 1 tahun surat bukti perkawinan didaftarkan di KCS. Cara-cara pernikahan pasangan beda agama tersebut dianggap sebagai penyelundupan hukum.

Dalam kaitanya dengan Agama, pada prinsipnya agama-agama lain juga  tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama.

pernikahan beda agama dianggap tidak sah, dianggap tidak ada pernikahan, tidak ada waris dalam pernikahan beda agama karena dianggap tidak ada pernikahan, anaknya juga ikut hubungan hak dengan ibunya

pernikahan beda agama itu zina

Mengenai pernikahan beda agama ini, ada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 (Yurisprudensi). Yurisprudensi tersebut antara lain menyatakan KCS saat itu diperkenankan untuk melangsungkan pernikahan beda agama.

11

 Salah satu contoh Kasus dalam Yurisprudensi ini bermula dari pernikahan yang hendak dicatatkan  Andi Vonny G. P. (wanita/Islam) dengan Andrianus Petrus (pria/Kristen).

Yurisprudensi:

    · Dengan pengajuan pencatatan pernikahan di KCS maka Andi Vonny memilih           pernikahannya tidak dilangsungkan secara Islam
    · Dengan demikian Andi Vonny memilih ikut agama Andrianus, maka KCS harus melangsungkan & mencatatkan pernikahan tersebut

Pernikahan pasangan beda agama dapat membawa masalah-masalah hukum selama pernikahan tersebut.

Masalah – masalah Hukum yang dimaksud Misalnya masalah hukum bagi anak yang dilahirkan dari pernikahan pasangan beda agama. Anak yang dilahirkan dari pernikahan pasangan beda agama dianggap anak sah selama pernikahan beda agama tersebut dicatatkan di KUA/KCS. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan/pernikahan yang sah. Perkawinan/pernikahan sah secara negara jika dicatatkan di KUA atau KCS.

Mengenai agama dari anak pernikahan beda agama, orang tua harus melihat padd UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

UU No. 23/2002:

Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. Anak dapat menentukan agama pilihannya jika

    · Anak tersebut telah berakal & bertanggung jawab
    · Memenuhi syarat & tata cara sesuai agama yang dipilihnya & peraturan yang berlaku

Oleh karena itu, selama anak belum dapat menentukan agamanya sendiri, hal ini bergantung pada kesepakatan kedua orang tuanya.

12

Akibat lain dari pernikahan beda agama adalah mengenai warisan. Syarat seseorang bisa jadi ahli waris dari pewaris Islam salah satunya adalah ahli waris harus juga beragama Islam.

Bagaimana jika suami Islam sedangkan mempunyai 2 orang anak dan isteri tidak beragama Islam?

Putusan MA No. 16 K/AG/2010:

“Isteri non-Muslim yang ditinggal mati suami Muslim tidak termasuk ahli waris, tapi ia mendapat wasiat wajibah dari harta warisan suaminya”.

Begitu pula dengan anak yang berbeda agama dari pewaris Islam, tetap mendapat wasiat wajibah

Wasiat wajibah adalah wasiat yang walau tidak dibuat secara tertulis/lisan namun tetap wajib diberikan kepada yang berhak atas warisan dari pewaris.

1.      Faktor – faktor Terjadinya Perkawinan Beda Agama

            Jika ditinjau dari perspektif sosial, untuk menikah dengan orang beda agama itu merupakan Hak bagi setiap orang. Dalam urusan mencintai atau berhubungan dengan orang lain tidak ada batasan secara extrem dalam menjalaninya. Secara umum setiap orang mempunyai aktifitas sosial dimana dalam aktifitas tersebut banyak akan menjumpai orang – orang yang beragam statusnya, suku, agama, adat dan lain sebagainya. Sudah menjadi suatu kewajaran jika hubungan personal bisa terjadi kepada siapapun dan dimanapun.

            Dalam lingkungan sosial salah satu yang menjadi penyebab terjadinya Perkawinan Beda Agama, salah satu penyebab secara umum, adalah rasa cinta yang tidak bisa dipungkiri. Cinta memang terkesan kurang menjelaskan secara ilmiah namun secara logika Cinta merupakan alasan dasar untuk terjadinya Perkawinan. Namun ada juga faktor – faktor  lain diluar Rasa Cinta, yaitu kurangnya atau minimnya pengetahuan seputar Hukum Agama dan kuranganya akan kesadaran Hukum. Dalam Hukum Positif Indonesia Mengenai Perkawinan secara tegas bahwa perkawinan itu Sah apabila dilakukan sesuai dengan Hukum Agama dan kepercyaanya masing – masing. Bahkan di awal tulisan ini, bukan hanya Agama islam, Secara Prinsipil Perkawinan Beda Agama di Haramkan atau tidak di anjurkan. Jika semua orang sadar akan hukum Positif yang mengatur tentang perkwinan, maka dapat ditarik kesimpulan kecenderungan untuk melakukan Perkawinan Beda Agama dapat diminimalisir dari dalam diri setiap orang karena akan sadar dengan Akibat – akibat Hukumnya.

PENUTUP

A.       Kesimpulan

 1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar Agama tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.

3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka

14

yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.

4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.

B. Saran

Bahwa dengan ketidaktegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UU No.1/1974, maka bersama ini saya sarankan bahwa :

a. Perlu rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar agama, karena dalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama.

b. Dalam revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu kejelasan tentang status hukum bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan antar agama.

Daftar Pustaka

·         P.N.H. Simanjutak, S.H. Pokok – pokok Hukum Perdata Indonesia,  Januari 1999

·         Soedharyo Soimin, S.H. Hukum Orang dan Keluarga, Januari 2001

·         Hartono Hadisoeprapto, S.H. Pengantar Tata Hukum Indonesia Yogyakarta, Mei 1993

·         Dr. Marwan Mas, S.H., M.H Pengantar Ilmu Hukum,  Makassar, Januari 2011

·         http://inparametric.com

·         http://islamlib.com

·         http://bangdenjambi.wordpress.com

·         http://www.republika.co.id/

2 Responses to “PERKAWINAN BEDA AGAMA”

Unknown :

klo gw pribadi kurang setuju sama perkawinan beda agama. menurut gw nikah itu untuk selamanya jadi kita harus mikirin sampe puluhan tahun ke depaan, karena yang oernah gw denger banyak pernikahan yang gagal di tengah jalan karena perbedaan keyakinan dan ujung2nya anak yang jadi korban

April 14, 2014 at 9:53 PM

Muhammad Fajril S.H :

iya saya pun sependapat dengan mas yandhi. ketika terjadi perkawinan beda agama, sebenarnya permasalahan yang timbul bukan hanya dari sisi pernikahan dari dua mempelai, namun juga dari sisi Hak anak dalam menentukan agama sekaligus mengenai warisan. karena setiap agama memiliki sistemnya sendiri dalam menentukan warisan. jkembali lagi, setiap pasangan harus berpikir panjang jika pada masa pacaran yang memiliki perbedaan agama, harus di selesaikan sebelum tiba hari pernikahan.
(y)

April 15, 2014 at 2:31 AM

Post a Comment