Komunikasi dan Politik


Salah satu senjata atau boleh di bilang ujung yang paling tajam dari sebuah tombak politik praktis adalah komunikasi, cara bagaimana mentransformasikan suatu gagasan, ide, mimpi, , aspirasi, harapan, dan rencana program politik. Komunikasi telah menjadi style tersendiri bahkan sesuatu yang deterministic bagi keberhasilan program – program politik untuk terdistribusikanya dengan baik di kalangan masyarakat. Bahasa juga menjadi salah satu instrument untuk menghasilkan komunikasi yang baik agar mudah dimengerti serta dipahami.
Komuikasi politik ( terminology ) belum banyak dikenal masyarakat secara umum karena sifatnya yang kebetulan umum, dimaknai hanya sebagai suatu aktifitas dalam mensosialisasikan atau dalam terma lain mentransformasikan esensi tujuan dari seorang komunikator. Masyarakat sering mengidentifikasikan diri sebagai seorang pendengar kemudian menyeleksi pesan yang disampaikan oleh komunikator untuk selanjutnya akan terjadi feedback dari masyarakat yang berbentuk opini.

Dalam menangkap isi yang di gulirkan oleh komunikator politik, setiap masyarakat akan mengukur dengan rumus yang mereka mengerti kira – kira apa yang di gulirkan oleh komuikator , entah itu berupa issue atau sebuah fakta, dapat diperhitungkan atau tidak. DAN NIMMO dalam bukunya yang berjudul Political Communication and Public Opinion and America, menjelaskan bahwa Opini pribadi terdiri atas  kegiatan verbal dan noverbal yang menyajikan citra dan interprestasi individual tentang objek tertentu di dalam setting, biasanya dalam bentuk issue, yang diperhitungkan orang.
Komunikator politik menjadikan sebuah issue untuk membangun opini public dengan pertimbangan bahwa issue tersebut benar – benar populer dalam pandangan masyarakat umum. Namun daya tangkap dari pendengar komunikator politik tidak semuanya bersifat horizontal. Artinya dalam merumuskan opini public ada beberapa keadaan deterministic yang menghasilkan opini terhadap interpretasi yang telah dilakukan oleh komunikator. Menurut DAN NIMMO antara lain seperti :
1.      Keadaan internal : ini mengacu kepada berbagai hal seperti ciri kepribadian, kecenderungan, sikap, emosi, keinginan , kebutuhan, suasana, motivasi, kebiasaan orang itu, dan sederetan factor lain yang pada umumnya dianggap bersifat psikologis dan fisiologis.
2.      Karakteriktis Demografi : di sini kita mencakup usia, jenis kelamin, etnik, wilayah tepat tinggal, kelas social ( termasuk pendapatan, tingkat pendidikan , pekerjaan ) seseorang dan sebagainya.
3.      Karakterisktik Sosial : ini mencakup kelompok tempat orang itu menjadi anggotanya ( keluarga, kawan, rekan sekerja, gereja, teman sebaya dsb ), yakni kelompok yang menjadi identifikasinya, dihormatinya, dan dipandangnya sebagai contoh untuk apa yang akan dilakukanya dan bagaimana melakukanya.
4.      Pertimbangan resmi : Lembaga Pemerintah, hokum, peraturan,, pengaturan, prosedur, kebiasaan , dan akibat yang merugikan atau menguntungkan jika dipatuhi atau ditentang, semuanya dapat dimasukan ke dalam proses interpretative dalam merumuskan opini orang.
5.      Prefeerens Partisan : banyak orang yang memiliki preferensi yang lama dan tangguh terhadap partai politik, ideology dan tujuan dan semua ini dapat diperhitungkan melalui interpretasi.
6.      Komunikasi : Di sini kita harus memasukan siapa sumber siapa sumber komunikasi itu dan bagaimana anggapan orang terhadap mereka, lambang dan bahasa pesan mereka, media yang digunakan dan teknik persuasive yang digunakan.
7.      Obyek Politik : orang mengungkakan opini tentang sesuatu , ada orang, peristiwa, isu, gagasan, pertanyaan, usul atau objek lain yang menjadi focus dan rangsangan utama bagi pengungkapan opini.
8.      Setting Politik : orang mengungkapkan Opininya tentang objek, dan objek tersebut tampil dalam setting ini, kadang – kadang sebagai latar belakang penampilan objek itu, adakalanya dianggap lebih penting daripada objek itu sendiri ( misalnya, orang bisa mendukung penghentian bantuan AS kepada Israel, tetapi pada masa tegegangan Arab Israel mengharapkan bantuan itu diteruskan.
9.      Pilihan : di sini tercakup semua opini yang ada yang dapat diungkapka orang ( mendukung, menetang, berdiri di tengah – tengah , tidak mempunyai opini, tidak mau menjawab ) dan alat yang dapat di gunakan untuk mengungkapkanya – pemberian suara, kampanye, derma uang bagi kandidat, tindakan kekerasan, dan sebagainya.

Dari beberapa penjelasan diatas sekarang kita mengetahui bahwa banyak hal yang diperhitungkan oleh orang dalam merumuskan suatu opini. Mulai dari angka satu sampai Sembilan menurut saya belum bisa diketahui urutan manakah yang paling deterministic untuk menghasilkan suatu opini public.

Indonesia adalah satu dari beberapa Negara yang mungkin bisa dibilang memiliki karakter unik dalam mebangun sebuah opini public. Suhu politik Indonesia tergantung bagaimana komunikasi politik itu digulirkan. Sebagai contoh pada tahun 1997 sebelum terjadi krisis ( Indonesia belum menunjukan telah mengalami krisis ) wacana mengenai krisis telah digulirkan oleh dunia internasional dan Indonesia akan menjadi salah satu Negara yang mengalami krisis. Seperti dikatakan oleh Furman dan Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara bermasalah yang diambil sebagai percontoh (sample) penelitiannya, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam percontoh, tersebut. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand.
Hal ini adalah suatu isu yang dibangun berdasarkan keadaan obyektif secara universal. Namun keadaan obyektif yang bersifat dinamis akhirnya menunjukan fakta kongkrit bahwa isu yang dibangun untuk meyakinkan public Indonesia, bahwa krisis tidak akan menghampiri Indonesia berbandinng terbalik dengan fakta yang ada. Adapun beberapa factor yang menyebabkan Indonesia akhirnya mengalami krisis. Antara lain :

Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek,       telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang         berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun                   masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.

  Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem         perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta         eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
 Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang                  pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
  Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan         pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.[1]

Faktor pada nomor tiga memiliki korelasi yang sangat jelas dengan konteks pokok pembahasan ini. Disamping keresahan dan kegelisahan masyarakat Indonesia ketika harus bertekuk lutut terhadap pemerintahan orde baru yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun, ketidakpastian dalam teritori kebijakan politik pemerintah menimbulkan opini public yang berbading terbalik dengan harapan pemerintah untuk menciptakan status Quo. Issue pemerintahan yang berkembang pesat akhirnya memaksa pemerintah untuk menghadapi persoalan – persoalan Nasional.

Terlepas dari implikasi yang dihasilkan oleh fenomena pada tahun 1997, krisis akhirnya menciptakan sebuah issue bahwa pemerintah orde baru sudah tidak bisa lagi menghadapi masalah – masalah nasional terkait dengan permasalahan ekonomi.
Lain halnya dengan komunikasi politik yang sengaja dibangun untuk meyakinkan public, maka eksistensi fenomena dapat dibilang sebagai salah satu faktor penentu opini public.

Untuk konteks yang lebih spesifik public terbagi menjadi beberapa bagian. Menurut DAN NIMMO Antara lain ialah :
·         Publik berpikiran issue.
Pengertian yang mudah untuk menggambarkan secara jelas ialah bahwa public yang memiliki kecenderungan untuk lebih memfokuskan diri terhadap issue – issue yang popular atau yang tidak dan menarik untuk di perhitungkan. Lebih memilih untuk menstratakan isu yang memiliki pengaruh terhadap dirinya.
Tahun 2014 ketika menjelang pemilihan presiden yang dilaksanakan pada bulan juli, kita tentunya masih ingat dengan sosok – sosok seperti Joko Widodo, Jusuf  Kalla, dan Prabowo Subianto, Hatta Rajasa. Mereka adalah pasangan – pasangan calon Presiden Indonesia Tahun 2014 – 2019. Di tengah hiruk pikuknya kampanye dari masing – masing calon, komunikasi untuk mentransformasikan maksud dan tujuan politis untuk kemudian di mungkinkan menghasilkan opini public mutlak diperlukan. Kita ambil dari salah satu calon ( yang kini telah menjadi Presiden Republik Indonesia ) Joko Widodo sebagai sample. Sebelum akhirnya Joko Widodo terpilih menjadi Presiden, jajaran ring satu atau yang biasa disebut team sukses menggulirkan isu bahwa salah satu yang menjadi permasalahan dalam sector ekonomi mikro adalah kurang meratanya jenis usaha produktif dalam skala kecil. Hingga kemudian timbul suatu opini public bahwa masyarakat Indonesia lebih banyak yang memiliki kecenderungan Konsumtif daripada produktif. Setelah opini public sudah terbentuk sedemikian rapinya, maka langkah selanjutnya ialah membentuk opini public dengan suatu gagasan program untuk menangani permasalah tersebut. Salah satunya ialah dengan program menciptakan industry – industry mikro dikalangan masyarakat menengah ke bawah.
Tidak cukup dengan hal itu, Indonesia yang memiliki permasalah seputar pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, menggulirkan isu yang ada kaitanya dengan kondisi tersebut. Hal itu merupakan langkah politis yang cukup bagus dalam membangun opini public. Hampir sama dengan penjelasan diatas, langkah selajutnya juga tidak jauh berbeda. Yaitu membangun opini public dengan menggulirkan gagasan program jaminan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan dengan basis akses melalui kartu. Kemudian salah satu yang menjadi bahan untuk menggulirkan sebuah isu lagi adalah kurangnya infrastruktur untuk menunjang akses distribusi yang baik di seluruh Indonesia. Tidak jauh berbeda pula dari penjelasan diatas maka dengan menggulirkan gagasan program pembangunan Infrastruktur di Indonesia juga dapat menjadi pertimbangan yang bagus untuk membangun opini public.

Dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, maka hal itu telah membuktikan bahwa Joko Widodo berhasil dalam menjalankan misi membangun opini public terhadap sasaran Publik Berpikiran Isu.
Namun ketika keberhasilan isu yang dulu dibangun secara sistematis dan matang, dihadapkan  dengan fakta kongkret pemerintah menaikan Harga Bahan bakar minyak, -  yang kemudian dapat berpotensi untuk membangun opini baru -   maka akan timbul suatu opini baru : bahwa opini publik yang dulu disusun rapi seakan mengikuti rytme kepentingan penguasa. Rytme yang terdiri dari beberapa melodi – melodi. Melodi pertama : diawal bursa pencapresan publik di giring untuk mengamini program jangka pendek yang berbentuk pembangunan usaha mikro secara masif. Melodi kedua : publik di giring untuk mengamini program jangka pendek yang berbentuk jaminan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Dan yang ketiga : publik di giring lagi untuk mengamini program jangka panjang yang berbentuk pembangunan infrastruktur.
Dalam perspektif masayarakat yang berpikiran isu hal diatas sudah menjadi kewajaran karena karakter tersebut mengarahkan masyarakat untuk lebih mempertimbangkan isu yang tidak popular/populer.
·         Publik Ideologis
Publik ideologis merupakan ideolog ( orang ) yang memiliki system kepercayaan yang relative tertutup, yang nilai – nilainya dijadikan sebagai pegangan untuk memfilterisasi apa yang diterima dan apa yang tidak diterima. Kepercayaan dan nilai anggota public ideologis bersifat konsisten secara internal.
Sebagai contoh untuk menggambarkan secara jelas apa yang dimaksud dengan Publik Ideologis , mari kita tarik seperti demikian : di Indonesia ada beberapa partai dan ormas yang memiliki garis perjuangan idelogis atau bahkan bisa disebut agamis. Seperti PKS, PKB, PPP untuk ormas seperti FPI dsb. Dalam taktik dan strategi politik, terlepas partai/organisasi ideologis maupun agamis, public yang paling berpeluang untuk menerima pesan atau isi dari komunikator politik adalah public ideologis. Dalam setiap komunikasi yang dilakukan, memasukan beberapa nilai – nilai yang terkandung dalam system kepercayaan. Tujuanya jelas yaitu membangun opini public dengan cara mengkorelasikan keadaan obyektif dengan nilai – nilai yang seakan – akan  memiliki wujud yang nyata dan ada. Kita sebenarnya sering mendengar dan menyaksikan sendiri bagaimana jenis komunikasi ini dilakukan untuk membangun opini public. Kita tentunya masih ingat ketika terjadi bencana alam di Indonesia maka pernyataan yang sering keluar dari   pemerintah atau lainya ketika berkomunikasi dengan public, bahwa bencana itu terjadi tidak lain dan tidak bukan adalah karena Tuhan yang menginginkan demikian. Gaya komunikasi seperti ini akan mudah untuk di tangkap jenis public ideologis karena system kepercayaan dan nilai konsisten secara internal.

Memperhatikan sekapur sirih diatas, penulis meyakini bahwa dalam perspektif public, isi yang terkandung dalam aktifitas komukasi politik merupakan keadaan yang sesungguhnya untuk menggiring serta mengendalikan public kearah sesuai dengan apa yang telah menjadi tujuan komunikator. Pertarungan atau perbenturan antara fakta dan isu sebagai bahan untuk opini public, menjadi suatu pertarungan kuantitas dan kualitas komunikator dalam melakukan komunikasi politik. Masyarakat yang tidak memiliki orientasi politik yang cukup akan menyebabkan kebuntuan menentukan arah opini indiviualnya. Hal ini akan menjadikan masyarakat sebagai suatu kumpulan entitas yang cenderung mengidentifikasikan diri dengan opini masyarakat lain.

Komunikasi dan politik adalah dua element yang di pertemukan untuk membangun suatu opini demi terwujudnya tujuan. Terlebih lagi tujuan dalam pangsa Politik Praktis.


sumber : 
 Political Communication and Public Opinion and America, DAN NIMMO
https://putracenter.wordpress.com/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-apakah-akan-terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/

0 Responses to “Komunikasi dan Politik”

Post a Comment